Akhlak

AKHLAK
1.        Pendahuluan
Manusia diciptakan oleh Allah SWT melalui tahapan-tahapan yang menakjubkan. Setelah terciptanya manusia, Allah SWT tiupkan ruh ke dalam tubuh manusia. Kemudian Allah SWT menetapkan empat hal kepada manusia yang tidak ada satu pun manusia yang tau, yaitu: rezekinya; ajal atau kematiannya; amalnya dan; celaka atau bahagianya manusia di muka bumi.
Allah menunjuk manusia sebagai khilafah di muka bumi untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya mengenai keesaan Allah SWT. Selain itu, manusia ditugaskan untuk menjaga dan merawat bumi berserta isinya dengan akhlak yang mulia. Akhlak sangat penting bagi manusia karena akan menentukan kepribadian seseorang.

2.        Pembahasan
a.    Pengertian dan ruang lingkup akhlak
Akhlak menurut bahasa Indonesia adalah budi pekerti atau kelakuan.[1] Akhlak adalah sifat atau watak yang telah ada di dalam diri manusia yang dapat dipengarui oleh lingkungan sekitarnya. Secara kebahasaan akhlak bisa baik dan juga bisa buruk, tergantung tata nilai yang dijadikan landasan atau tolok ukurnya. Di Indonesia, kata akhlak selalu berkonotasi positif. Orang yang baik sering disebut orang yang berakhlak, sementara orang yang tidak berlaku baik disebut orang yang tidak berakhlak.
Akhlak memiliki ruang lingkup yang harus diketahui oleh manusia yaitu, akhlak kepada Allah SWT; akhlak kepada sesama manusia dan; akhlak kepada makhluk selain manusia. Setiap akhlak yang ditujukan memiliki perbedaan dalam menyikapinya.
b.   Perbandingan antara akhlak dalam Islam dengan norma, adat istiadat, dan filsafat etika
Akhlak dalam Islam berasal dari perilaku, budi pekerti, atau watak yang telah diatur dalam al-Quran dan hadits. Norma merupakan aturan yang mengikat seseorang atau masyarakat dalam berperilaku. Norma biasanya berasal dari kebiasaan yang telah berulang-ulang dilakukan dan dijadikan tatanan dalam tingkah laku yang sifatnya berlaku bagi siapa saja.
Adat istiadat adalah aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala.[2] Adat istiadat suatu tempat dengan tempat yang lain akan berbeda karena aturan yang dilakukan sejak dahulu berbeda. Etika adalah ilmu tentang asas-asas akhlak.[3] Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.[4] Filsafat etika adalah ilmu tentang asas-asas akhlak yang diketahui dan diselidiki dengan akal budi sesuai dengan fakta yang telah ada.
Perbandingan akhlak dengan norma, adat istiadat, dan filsafat etika yaitu akhlak diatur dalam al-Quran dan hadits; norma diatur dalam tulisan maupun lisan sesuai dengan kebiasaan; adat istiadat diatur sesuai dengan tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan sejak dahulu kala dan; filsafat etika diatur sesuai dengan ilmu yang telah diketahui oleh akal budi dan fakta yang telah ada.


c.    Akhlak kepada Allah SWT
Akhlak atau berperilaku kepada Allah SWT merupakan hal yang paling utama dilakukan oleh manusia. Apabila manusia berakhlak tidak baik kepada Allah SWT, maka akan berdampak pada akhlak kepada sesama manusia maupun makhluk lainnya.
Allah SWT telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi:

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Baqarah [2] : 177)


Ayat tersebut menjelaskan bahwa kita harus melakukan kebajikan atau akhlak terpuji walaupun menghadapkan wajah ke arah timur dan barat. Namun kebajikan yang benar imannya itu adalah beriman kepada Allah dan mengimani rukun iman yang ada enam. Ayat tersebut juga menjelaskan tentang manusia yang harus berakhlak kepada sesama manusia. kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan yang benar terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya meninggalkan larangan-Nya), serta berbuat kebajikan terhadap sesama makhluk Allah.
Banyak perilaku yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah SWT, diantaranya adalah sebagai berikut:
i)          Meyakini keesaan Allah SWT
ii)       Meyakini segala kekuasaan, kesempurnaan, dan kemahaan Allah SWT
iii)     Taat pada perintah Allah SWT
iv)     Menjauhi segala larangan Allah SWT

d.   Akhlak kepada sesama manusia
Setelah kita memiliki akhlak yang baik atau akhlak mulia kepada Allah SWT, kita harus memiliki akhlak yang mulia kepada sesama manusia. Apabila kita tidak memiliki akhlak yang mulia kepada sesama manusia, kita tidak akan mendapatkan pertolongan dari sesama manusia ketika mengalami kesusahan.
Allah SWT telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 117 menjelaskan perilaku kita terhadap sesama manusia seperti: memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; (memerdekakan) hamba sahaya dan; orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.

e.    Akhlak kepada makhluk selain manusia
Selain berakhlak mulia kepada Allah SWT dan sesama manusia, kita harus berakhlak mulia kepada makhluk lainnya yang ada di muk bumi, seperti tumbuhan dan binatang. Tanpa adanya tumbuhan dan binatang, manusia tidak dapat hidup karena tumbuhan dan binatang merupakan sumber pangan bagi manusia.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam berperilaku baik kepada makhluk lainnya yaitu: melakukan pemeliharaan; membuat pembaharuan; tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan; dan melestarikan tumbuhan dan binatang agar tercipta keseimbangan di muka bumi.

3.        Penutup
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khilafah di muka bumi. Manusia diberi akal pikiran agar manusia mau mencari ilmu mengenai hal-hal yang tidak diketahuinya. Manusia diberikan akal pikiran untuk berakhlak baik kepada Allah SWT, sesama manusia, maupun makhluk selain manusia seperti tumbuhan dan binatang.
Perbandingan akhlak dengan norma, adat istiadat, dan filsafat etika yaitu akhlak diatur dalam al-Quran dan hadits; norma diatur dalam tulisan maupun lisan sesuai dengan kebiasaan; adat istiadat diatur sesuai dengan tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan sejak dahulu kala dan; filsafat etika diatur sesuai dengan ilmu yang telah diketahui oleh akal budi dan fakta yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA
M.A., Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. Mitra Pelajar.
http://eprints.walisongo.ac.id/3996/4/073111150_bab3.pdf
http://muslim.or.id/4233-prioritas-utama-akhlaq-kepada-allah.html


[1] Hoetomo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal 24.
[2] Hoetomo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal 16.
[3] Hoetomo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal 151.
[4] Hoetomo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal 156.

Kerukunan Antar Umat Beragama

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
1.      Pendahuluan
Akhlak yang dimiliki oleh manusia digunakan untuk menjalankan syariat, fikih, dan hukum Islam. Tanpa adanya syariat, fikih, dan hukum Islam maka manusia menjalankan kehidupan di dunia ini tanpa adanya aturan yang mengatur dan manusia tidak akan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang ia lakukan.
Syariat, fikih, dan hukum Islam juga mengatur bagaimana kita untuk rukun kepada umat beragama lainnya yang berbeda. Kerukunan antar umat beragama sangat diperlukan karena terdapat banyak agama selain Islam yang tersebar diseluruh dunia terutama di Indonesia.

2.      Pembahasan
a.      Pengertian, tujuan, dan landasan hukum
Rukun dalam bahasa Indonesia adalah bersatu hati.[1] Rukun dari bahasa Arab ruknun artinya asas-asas atau dasar, seperti rukun Islam. Kerukunan hidup umat beragama artinya hidup dalam suasana damai, tidak bertengkar, walaupun berbeda agama.
Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa. Kerukunan antar umat beragama telah diatur dalam landasan-landasan hukum, diantaranya adalah sebagai berikut:

(a)   QS. al-Hujuraat [49] : 13 yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujuraat [49]: 13)
(b)   Landasan Idiil, yaitu Pancasila pada sila pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”
(c)    Landasan Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 ayat 1-2 yang berbunyi: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
(d)  Landasan Strategis, yaitu Ketetapan MPR No.IV tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
(e)   Landasan Operasional, yaitu Peraturan Daerah, SK menteri, dan peraturan lainnya

b.     Wadah kerukunan hidup beragama
Banyak wadah yang dapat dijadikan sebagai tempat pembuktian teori yang telah diajarkan mengenai kerukunan hidup beragama. Agama manapun mengajarkan sikap untuk hidup rukun dengan umat beragama lainnya. Salah satu wadah yang sangat dekat dengan kita adalah organisasi-organisasi seperti kepengurusan rukun warga (RW) yang mencakup seluruh warga sekitar dan karang taruna untuk pemuda dan pemudi.
Warga RW dengan bermacam-macam agama dapat disatukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial misalnya dengan mengadakan pekan olahraga atau POR. Selain itu, karang taruna dapat mempersatukan pemuda-pemudi berbagai agama dengan mengadakan bakti sosial ataupun pentas seni.

c.       Pola pembinaan kerukunan umat beragama
(a)   Kerukunan internal umat beragama: pembinaan kerukunan umat beragam di mulai dari internal agama yang bersangkutan. Apabila internal agama tidak memiliki kerukunan maka tidak akan dapat hidup rukun dengan umat beragama lainnya.
(b)   Kerukunan antar umat beragama: setelah intenal telah mencapai kerukunan, pembinaan kerukunan dapat melaju ke jenjang antar umat bergama. Tahap ini bertujuan untuk membina antar umat beragama saling menghormati dan saling menjaga.
(c)    Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah: setelah kerukunan atar umat beragama tercapai, umat beragama harus rukun kepada pemerintah. Pemerintah dalam hal ini pemerintah Indonesia yang memegang kekuasaan dan memberikan serta melaksanakan aturan-aturan yang berlaku bagi setiap masyarakatnya.

d.     Langkah-langkah dalam pelaksanaan kerukunan hidup beragama
Kerukunan hidup beragama telah dilakukan oleh kita sejak masih kecil. Kita diajarkan untuk menolong teman kita yang berbeda agama ketika ia sedang mengalami kesulitan. Kemudia muncul sifat untuk rukun dengan umat beragama lainnya. Setelah rukun terhadap teman kita yang beragama lain, rasa untuk hidup rukun akan semakin tinggi ketika mereka memberikan timbal baik ketika kita mengalami kesulitan.
Kita masuk ke dalam organisasi yang tedapat berbagai macam agama dan disitulah kita merasakan kerukunan umat beragama. Media-media yang menayangkan tentang kerukunan seperti media cetak, elektronik, maupun internet menambah pengetahuan tentang kerukunan umat beragama.

e.      Pokok-pokok ajaran Islam tentang kerukunan hidup beragama
Kerukunan dalam Islam diberi istilah "tasamuh " atau toleransi. Toleransi ialah kerukunan sosial kemasyarakatan, bukan dalam bidang aqidah Islamiyah (keimanan), karena aqidah telah digariskan secara jelas dan tegas di dalam AlQur'an dan Al-Hadits.[2] Allah SWT telah menjelaskan di Surat al-Kafiruun ayat 6 yang berbunyi:
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku" (QS. al-Kafiruun [109]: 6)
Maksud dari ayat tersebut adalah agama yang kamu peluk adalah untukmu sehingga apa saja yang diajarkan kepadamu mengenai akidah adalah hanya untukmu. Begitu pula agama yang saya peluk adalah untukku sehingga apa saja yang diajarkan kepadaku mengenai akidah adalah hanya untukku.
Saat teman kita yang non-Islam mengucapkan selamat atas hari raya baik itu Idul Fitri maupun Idul adha dan ia meminta kita untuk mengucapkan selamat kepada hari raya mereka maka kita tidaklah mengucapkannya. Hal ini dapat merusak akidah yang telah kita bangun sejak kecil.
  
f.       Kerukunan umat beragama di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan keragaman umat beragama yang bervariatif. Mulai dari agama Islam sebagai agama mayoritas, kristen katolik, kristen protestan, buddha, hindu, dan khong hu cu. Banyak cobaan di Indonesia yang mengganggu kerukunan umat beragama, seperti adanya teroris yang mengatasnamakan Islam.
Banyak kejadian-kejadian yang melibatkan teroris karena mereka berpikir bahwa Indonesia harus berlandaskan syariat Islam namun dengan cara yang salah. Ada beberapa wilayah yang harus mengikuti ajaran agamanya tanpa mengganggu landasan utama Indonesia yaitu pancasila, salah satunya adalah Bali.
Bali merupakan wilayah yang mayoritas beragama hindu. Setiap orang yang memasuki wilayah harus mengikuti aturan yang ada di sana. Contoh kerukunan umat beragama di Bali adalah ketika hari raya umat hindu jatuh pada hari jumat bersamaan dengan shalat jumat, umat Islam tetap menghormati hari raya umat hindu dengan tidak menggunakan pengeras suara ketika azan dan khutbah jumat. Saat ini kerukunan umat beragama sedang diusik oleh pernyataan pemimpin non-Islam dengan menyebutkan ayat al-Quran yang digunakan untuk menipu umatnya dalam memilih pemimpin.

3.      Penutup
Kerukunan umat beragama sangatlah penting di dunia ini. Apabila kerukunan umat beragama tidak tercapai maka terjadilah peperangan yang mengatasnamakan agama sehingga orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban dan dunia akan menjadi kelam.
Kita sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran haruslah saling menghormati antar umat beragama sehingga teciptalah dunia yang damai tanpa adanya peperangan yang tidak akan ada habisnya. Semoga kita dapat menjalankan kerukunan hidup beragama srtelah kita mengetahui tata cara dalam hidup rukun.

DAFTAR PUSTAKA
M.A., Hoetomo. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. Mitra Pelajar.
Waluyo, Sri. dkk. 2003. Pendidikan Agama Islam. Jakarta. Penerbit Gunadarma.



[1] Hoetomo M.A., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), hal 424
[2] Waluyo. Sri, dkk, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Penerbit Gunadarma, 2003), hal 149.

Metodologi Penelitian

Metode Penelitian
Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan urut melalui metode penelitian. Metode penelitian adalah prosedur atau langkah-langkah sistematis dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Menurut Sugiyono (2009:3) metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Selanjutnya dalam pengertian yang luas, Sugiyono (2009:6) menjelaskan bahwa metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah.
Dalam pengertian yang lain Nana Syaodih Sukmadinata (2005:52) mendefinisikan metode penelitian sebagai rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar, pandangan-pandangan filosofis dan idiologis, pertanyaan dan isu-isu yang dihadapi.
Metode penelitian terdiri atas dua kata, yakni kata metode dan penelitian. Menurut bahasa, metode sering diartikan cara. Dalam bahasa Arab, metode diartikanthariqah yang berarti langkah-langkah strategis mempersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan (Ramayulis, 2004:155).
Macam-macam metode penelitian mengacu pada bentuk penelitian, tujuan, sifat masalah dan pendekatannya ada empat macam :
a.         Metode Eksperimen (Mengujicobakan): penelitian untuk menguji apakah variable eksperimen efektif atau tidak. Menguji hipotesis yang dirumuskan secara ketat, biasanya dilakukan untuk bidang yang bersifat eksak.
b.        Metode Verifikasi (Pengujian): untuk menguji seberapa jauh tujuan tercapai. Tujuan dari penelitian verifikasi adalah untuk menguji teori-teori yang sudah ada guna menyusun teori baru dan menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru.
c.         Metode Deskriptif (Mendeskripsikan): metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat suatu kejadian, dimulai dari mengumpulkan data, menganalisis data, dan menginterpretasikannya. Pelaksanaannya dilakukan melalui survey, studi kasus, dan lain-lain.
d.        Metode Historis (Merekonstruksi): suatu metode penelitian yang meneliti sesuatu yang terjadi dimasa lampau. Penelitian historis bertujuan untuk menemukan generalisasi dan membuat rekonstruksi masa lampau, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan bukti guna memperoleh kesimpulan yang kuat

Langkah-langkah metode penelitian adalah sebagai berikut:
1.      Mengidentifikasi, Memilih dan Merumuskan Masalah
1.1     Mengidentifikasi masalah adalah mencari masalah yang relevan dan menarik untuk diteliti. Masalah dapat dicari melalui pengamatan, pendengaran, pengelihatan, perasaan, dan penciuman.
1.2     Sumber masalah dapat diperoleh dari bacaan, seminar, pernyataan otoritas, pengamatan sepintas, pengalaman pribadi, dan perasaan (intuitif).
1.3     Dalam mengidentifikasi masalah biasanya ditemukan lebih dari satu masalah dan tidak semua masalah dapat/layak diteliti. Oleh sebab itu perlu diadakan pemilihan/pembatasan masalah.
1.4     Setelah masalah diidentifikasi dan dipilih/dibatasi, selajutnya masalah tersebut hendaknya dirumuskan dalam kalimat Tanya yang padat dan jelas serta memberikan petunjuk tentang kemungkinan pengumpulan data guna menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah tersebut.

2.      Penyusunan Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah konstruksi yang bersifat logis dengan argument yang konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.

3.      Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang jawabannya harus diuji. Hipotesis diturunkan atau dirangkum dari kerangka pemikiran teoritis. Terdapat dua jenis hipotesis yaitu hipotesis deskriptif dan hipotesis verifikatif. Hipotesis deskriptif adalah hipotesis yang menunjukkan pemaknaan suatu konsep dari suatu teori. Hipotesis verifikatif adalah hipotesis yang menggabungkan dua variable atau lebih untuk diuji.

4.      Menguji Hipotesis Secara Empirik
a.       Penelitian kuantitatif: menguji dengan alat statistic interverensial dan statistic deskriptif untuk membuktikan teori secara meyakinkan.
b.      Penelitian kualitatif: menguji dengan tanpa statistic untuk mencari pemaknaan.

5.      Melakukan Pembahasan
Bagian ini berisi pembahasan hasil penelitian. Baik secara teoritis maupun empiris. Kemukaan hasil temuan penelitian, termasuk kejadian baru yang mungkin muncul selama penelitian.

6.      Menarik Kesimpulan
Kesimpulan harus menjawab terhadap rumusan masalah. Kesimpulan harus konsisten dengan rumusan masalah, tujuan, hipotesis, hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan bukan ringkasan atau inti sari, tetapi merupakan kaitan logis. Mengurai kesimpulan penelitian, bukan statistik.

Sumber:
file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI.../FILE__7.pdf
belajar.dedeyahya.web.id › Makalah
https://academia.edu/6475118/Pengertian_metodologi_penelitian


Tugas 2 - Peraturan dan Regulasi

UU No. 36 tentang Telekomunikasi: Azas dan Tujuan Telekomunikasi, Penyelenggaraan Telekomunikasi, Penyidikan, Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana

BAB I
Pendahuluan

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya, hal ini sejalan dengan keanekaragaman agama, suku, dan budaya yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Potensi ini harus dilakukan penyebaran secara merata ke seluruh negeri dengan telekomunikasi yang ada.
Telekomunikasi merupakan sebuah teknik pengiriman atau penyampaian informasi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Telekomunikasi telah diatur oleh pemerintah dalam UU No. 36 tentang Telekomunikasi, baik itu mengenai azas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan, penyidikan, sanksi adminsitrasi dan ketentuan pidana. Adanya UU No. 36 ini diharapkan telekomunikasi dapat digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAB II
Landasan Teori

A.        Azas dan Tujuan
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.

B.        Penyelenggaran
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.

Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi;
(2) Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah ;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
(2)Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c. penyelesaian dalam waktu singkat.
(3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
(3)Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.

Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15
(1) Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomuniksi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
(2)Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
(3)Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimakasud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip :
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.

Pasal 18
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan catatan pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.

Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.

Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikai yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, kemanan dan ketertiban umum.

Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasar sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggara jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28
Besaran tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi  ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan  ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran

Pasal 30
(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
(1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi, Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)  Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33
(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34
(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaiama dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia diluar peruntukannya, kecuali ;
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah Indonesia diluar peruntukannya,  kecuali ;
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keselamatan lalu lintas penerbangan ; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi ; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.

Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 39
(1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
(2)   Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.

C.        Penyidikan
Pasal 44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana  untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomuniksi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.

D. Sanksi Administrasi
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.

Pasal 46
1)    Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
2)   Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

E. Ketentuan Pidana
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 53
1)    Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2)   Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52,  Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.

BAB III
Studi Kasus
A.        Studi Kasus
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan PT Internux (Bolt) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) beberapa saat lalu. Gugatan itu menyoal tindakan Kominfo yang memberikan spektrum 30 MHz ke PT Smart Telecom (Smartfren) di pita 2,3 GHz tanpa proses pelelangan. Tindakan tersebut dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Menanggapi hal ini, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan masih menunggu salinan putusan dari PN untuk mengambil langkah berikutnya.
"Saya belum terima salinan putusannya. Ini baru dengar dari media," kata dia, Kamis (9/3/2017) lalu seusai acara peluncuran BlackBerry Aurora di Hotel Fairmont, Jakarta.
"Saya baca dulu putusannya seperti apa. Setelah itu kami (Kominfo) diskusikan. Ini kan baru di PN, masih ada kemungkinan banding. Masih panjang," ia menambahkan.

Bermula sejak 2014
Kisruh tentang pemanfaatan frekuensi 2,3 GHz ini bermula sejak 2014 lalu. Kala itu Kominfo memberikan alokasi frekuensi 2,3 GHz ke PT Smart Telecom yang sejatinya memegang lisensi nasional di frekuensi 1,9 GHz. Dalihnya, ada gangguan sinyal perangkat radio terhadap operator GSM yang memengaruhi jaringan Smart Telecom waktu itu. Hasilnya, Smart Telecom yang hanya memiliki spektrum selebar 7,5 MHz di frekuensi 1,9 GHz mendapat spektrum 30 MHz di frekuensi 2,3 GHz.
Menurut sebagian pihak, frekuensi tidak boleh dialihfungsikan kepada pihak lain. Harusnya diserahkan dulu ke negara untuk kemudian dilelang ulang secara terbuka. Dalam konteks ini, PT Internux selaku penyedia broadband wireless access(BWA) menuntut Kominfo agar memberikan pula spektrum 30 MHz pada pita 2,3 GHz dengan cakupan nasional serta izin layanan suara, penomoran, dan kode akses bagi pemegang merek Bolt.

B.        Analisa
            Dalam kasus ini terlihat ketidaksenangan dari pihak Bolt terhadap smartfren yang mendapat jatah spectrum lebih besar. Hal ini mungkin akan menimbulkan efek  pelanggan Bolt akan berpindah ke Smartfren demi mendapatkan jaringan internet yang memuaskan. Karena Bolt merasa dirugikan dengan hal ini maka ia melaporkan ke Kominfo.

Smartfren hanya memiliki lisensi nasional di frekuensi 1,9 GHz seharusnya tidak boleh mendapatkan alokasi frekuensi 2,3 GHz dan Smartfren juga mendapatkan spektrum 30 MHz di pita 2,3 GHz tanpa proses pelelangan. Tindakan tersebut dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Smartfren mendapat  sanksi pelanggaran frekuensi radio melanggar pasal – pasal berikut:

Ketentuan dan Sanksi Penggunaan Frekuensi Radio
Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
1.     Pasal 33 ayat (1) dan (2) :
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
2.     Pasal 53 ayat (1) :
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

DAFTAR PUSTAKA
https://dittel.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2013/06/36-TAHUN-1999.pdf

http://tekno.kompas.com/read/2017/03/10/14430067/gugatan.bolt.dikabulkan.ini.tanggapan.menkominfo

Copyright © Personal Blog | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com