UU
No. 36 tentang Telekomunikasi: Azas dan Tujuan Telekomunikasi, Penyelenggaraan
Telekomunikasi, Penyidikan, Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana
BAB
I
Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara kepulauan
yang memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya, hal ini sejalan
dengan keanekaragaman agama, suku, dan budaya yang secara keseluruhan merupakan
potensi nasional yang perlu dilindungi. Potensi ini harus dilakukan penyebaran
secara merata ke seluruh negeri dengan telekomunikasi yang ada.
Telekomunikasi merupakan
sebuah teknik pengiriman atau penyampaian informasi dari suatu tempat ke tempat
lainnya. Telekomunikasi telah diatur oleh pemerintah dalam UU No. 36 tentang
Telekomunikasi, baik itu mengenai azas dan tujuan telekomunikasi,
penyelenggaraan, penyidikan, sanksi adminsitrasi dan ketentuan pidana. Adanya UU
No. 36 ini diharapkan telekomunikasi dapat digunakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
BAB
II
Landasan
Teori
A. Azas
dan Tujuan
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan
asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan
tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
B. Penyelenggaran
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi
meliputi :
a. penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa
telekomunikasi;
c. penyelenggaraan
telekomunikasi khusus.
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. melindungi
kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi
perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara
profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta
masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan
hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik
Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta;
atau
d. koperasi;
(2) Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah ;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi;
(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi.
(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi
untuk :
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
(4) Penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan
telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai persyaratan
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi
dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara
telekomunikasi.
(2)Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin
dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dengan memperhatikan :
a. tata cara yang
sederhana;
b. proses yang
transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta
c. penyelesaian
dalam waktu singkat.
(3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembangunan,
pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara
telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan
yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah
negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
(3)Pembangunan, pengoperasian dan atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang
bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk
tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi
setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai
hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1) Atas kesalahan dan atau kelalaian
penyelenggara telekomuniksi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang
dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara
telekomunikasi.
(2)Penyelenggara telekomunikasi wajib
memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara
telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh
kesalahan dan atau kelalaiannya.
(3)Ketentuan mengenai tata cara pengajuan
dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan
kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal
sebagaimana dimakasud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana
telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan
universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan
telekomunikasi berdasarkan prinsip :
a. perlakuan yang sama
dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi
dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar
pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang
digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
(2) Apabila pengguna memerlukan catatan
pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan
pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk
pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib
memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi
penting menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa
manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang
melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikai yang bertentangan dengan
kepentingan umum, kesusilaan, kemanan dan ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan
tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan
telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa
telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan
telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
(1) Dalam penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem
penomoran.
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan
berdasar sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1) Setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara
jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip:
a. pemanfaatan
sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi
jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Setiap penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya
hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya
penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau tarif penyelenggara jasa telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula
yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1) Penyelenggaraan telekomunikasi
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b,
dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggaraan telekomunikasi
khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan
ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk
keperluan penyiaran
Pasal 30
(1) Dalam hal penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat
menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam hal penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat
menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 31
(1) Dalam keadaan penyelenggara
telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung
kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan
atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh
penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi, Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
(1) Perangkat telekomunikasi yang
diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah
Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai
persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah
(2)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan
pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Pengguna spektrum frekuensi radio
wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas
penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
(2) Pengguna orbit satelit wajib
membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya
sebagaiama dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
(1) Perangkat telekomunikasi yang
digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia
dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang
digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia
diluar peruntukannya, kecuali ;
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan
harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keamanan
lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh
penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan
spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 36
(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan
oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah Indonesia tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang
digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah Indonesia diluar
peruntukannya, kecuali ;
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan
harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keselamatan
lalu lintas penerbangan ; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh
penyelenggara telekomunikasi ; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan
spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat
telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan
diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 39
(1) Penyelenggara telekomunikasi
wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan
telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
(2) Ketentuan pengamanan
dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan
penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam
bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran
pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa
telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman
pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi
wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
yang diselenggarakannya.
(2) Untuk keperluan proses peradilan
pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim
dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan
permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran
Pasal 40.
C. Penyidikan
Pasal
44
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan
pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang telekomuniksi.
c.
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku;
d.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan
pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah
tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
g. menyegel
dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi; dan
i. mengadakan
penghentian penyidikan.
D. Sanksi Administrasi
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal
16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26
ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33
ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Pasal 46
1) Sanksi
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
2) Pencabutan izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan
tertulis.
E. Ketentuan Pidana
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat,
merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara
Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 53
1) Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda
paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2) Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang
digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48,
Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal
52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal
56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB III
Studi Kasus
A. Studi
Kasus
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan
gugatan yang diajukan PT Internux (Bolt) kepada Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) beberapa saat lalu. Gugatan itu menyoal
tindakan Kominfo yang memberikan spektrum 30 MHz ke PT Smart Telecom
(Smartfren) di pita 2,3 GHz tanpa proses pelelangan. Tindakan tersebut
dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Menanggapi hal ini, Menteri Komunikasi dan Informatika
(Menkominfo) Rudiantara mengatakan masih menunggu salinan putusan dari PN untuk
mengambil langkah berikutnya.
"Saya
belum terima salinan putusannya. Ini baru dengar dari media," kata dia,
Kamis (9/3/2017) lalu seusai acara peluncuran BlackBerry Aurora di Hotel
Fairmont, Jakarta.
"Saya
baca dulu putusannya seperti apa. Setelah itu kami (Kominfo) diskusikan. Ini
kan baru di PN, masih ada kemungkinan banding. Masih panjang," ia
menambahkan.
Bermula
sejak 2014
Kisruh tentang pemanfaatan frekuensi 2,3 GHz ini
bermula sejak 2014 lalu. Kala itu Kominfo memberikan alokasi frekuensi 2,3 GHz
ke PT Smart Telecom yang sejatinya memegang lisensi nasional di frekuensi 1,9
GHz. Dalihnya, ada gangguan sinyal perangkat radio terhadap
operator GSM yang memengaruhi jaringan Smart Telecom waktu itu. Hasilnya, Smart
Telecom yang hanya memiliki spektrum selebar 7,5 MHz di frekuensi 1,9 GHz
mendapat spektrum 30 MHz di frekuensi 2,3 GHz.
Menurut sebagian pihak, frekuensi tidak boleh
dialihfungsikan kepada pihak lain. Harusnya diserahkan dulu ke negara untuk
kemudian dilelang ulang secara terbuka. Dalam konteks ini, PT
Internux selaku penyedia broadband wireless access(BWA) menuntut
Kominfo agar memberikan pula spektrum 30 MHz pada pita 2,3 GHz dengan cakupan
nasional serta izin layanan suara, penomoran, dan kode akses bagi pemegang
merek Bolt.
B. Analisa
Dalam kasus ini terlihat
ketidaksenangan dari pihak Bolt terhadap smartfren yang mendapat jatah spectrum
lebih besar. Hal ini mungkin akan menimbulkan efek pelanggan Bolt
akan berpindah ke Smartfren demi mendapatkan jaringan internet yang memuaskan.
Karena Bolt merasa dirugikan dengan hal ini maka ia melaporkan ke Kominfo.
Smartfren
hanya memiliki lisensi nasional di frekuensi 1,9 GHz seharusnya tidak boleh
mendapatkan alokasi frekuensi 2,3 GHz dan Smartfren juga mendapatkan spektrum
30 MHz di pita 2,3 GHz tanpa proses pelelangan. Tindakan tersebut dinyatakan
melanggar Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Smartfren
mendapat sanksi pelanggaran frekuensi radio melanggar pasal – pasal
berikut:
Ketentuan dan Sanksi Penggunaan Frekuensi Radio
Undang-Undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999
1. Pasal 33 ayat (1)
dan (2) :
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin
Pemerintah.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan
peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
2. Pasal 53 ayat (1) :
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
DAFTAR
PUSTAKA
https://dittel.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2013/06/36-TAHUN-1999.pdf
http://tekno.kompas.com/read/2017/03/10/14430067/gugatan.bolt.dikabulkan.ini.tanggapan.menkominfo